Salve sahabat Tuhan Yesus dan Bunda Maria…
Semoga kita semua senantiasa dalam perlindungan dan berkat Tuhan. Memasuki kisah ke empat belas, dari Orang-orang Kudus Pilihan Allah yang jasadnya tetap utuh, dan sudah saya
bagikan di Blog saya ini, adakah yang
sudah sungguh-sungguh menyentuh hati dan jiwa kita?
Pengalaman
saya, setiap pribadi para Kudus yang saya kisahkan disini punya keistimewaan
masing-masing yang menyentuh jiwa saya. Entah itu cara hidup mereka yang sungguh-sungguh fokus dan mengandalkan Tuhan, ataupun cara Tuhan menyatakan kemuliaannya dalam diri
orang-orang pilihan-Nya ini.
Kisah kali ini, membuat saya sungguh merasakan kekaguman yang luar biasa akan kebesaran Allah, saya tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Bagaimana Dia menyatakan kemuliaan-Nya dalam diri seorang pastor yang lemah, lamban bahkan bodoh dan dianggap sama sekali tidak punya kemampuan apa2.
Santo Yohanes Maria Vianney
Jean Baptist Marie Vianney atau Yohanes Maria Vianey, lahir di Dardilly, sebuah wilayah di Perancis Selatan, pada tanggal 8 Mei 1786. Ia lahir sebagai anak keempat dari pasangan Mathieu Vianney dan Marie Beluse, sebuah keluarga pedesaan yang bersahaja.
Keluarga ini memiliki beberapa bidang tanah dan tempat tinggal yang sederhana. Jean Baptist
Marie Vianney di kemudian hari menjadi
sangat dikenal dengan sebutan ‘Sang Pastor dari Ars’.
Jean atau Yohanes kecil
sangat terinspirasi oleh kepedulian kedua orangtuanya kepada orang miskin . Meskipun secara materi mereka sendiri bukan
keluarga kaya namun rumah mereka
selalu terbuka untuk orang miskin yang membutuhkan makanan dan pertolongan
lainnya.
Di 4-5 tahun, ia sudah mempunyai kesukaan untuk menyendiri, yang menurut sebuah sumber, dilakukannya untuk berbicang-bincang dengan malaikat pelindungnya. Di masa remaja, Jean membantu orangtuanya bertani dan memelihara ternak.
Ia juga gemar melayani dengan penuh
simpati orang-orang miskin yang berdatangan ke rumah orangtuanya. Ia pergi
menjumpai orang-orang sederhana di jalan dan membawa pulang baju mereka
yang sobek, agar dapat dijahit dan diperbaiki oleh ibunya di rumah.
Ketika Revolusi Perancis merebak, gereja-gereja ditutup dan banyak pastor yang diusir. Jean yang telah semakin dewasa dan semakin matang dalam iman, berinisiatif mengumpulkan anak-anak di desanya.
Ia mengajar mereka tentang Kitab Suci dengan cara yang sederhana namun serius. Kesehariannya dipenuhi kegiatan bekerja dengan tekun dan rajin serta banyak berdoa, sehingga pekerjaannya sendiri adalah sebenarnya suatu doa yang terus menerus.
Sengsara Kristus dan mukjizat-mukjizat-Nya adalah sumber
meditasi jiwa yang tak pernah kering baginya. Di akhir hari, bersama ibu dan
kakaknya, Catherine, ia merenungkan Kitab Suci dan kisah para Kudus.
Di usia 19 tahun, atas restu orangtuanya, Jean masuk seminari yang dibuka di daerahnya oleh seorang misionaris gigih pada masa itu, Pastor Bailey, pastor paroki di Ecully, sebuah desa tetangga Dardilly.
Sejak awal, Jean sangat lemah dalam hal belajar, ia baru bisa membaca dengan baik pada usia 18 tahun. Dan kelemahan itu semakin bertambah terutama bahasa Latin. Namun pastor Bailey sangat sabar mendampinginya.
Jean memiliki devosi khusus
kepada Bunda Maria
Perawan Terberkati dan Santo Francis Regis dari Vivarais, orang kudus yang
menjadi devosi Jean sejak masa kanak-kanak. Ia banyak memperoleh pertolongan
di masa studynya dengan perantaraan St. Francis dan selalu mengingat
dengan penuh syukur pertolongan yang telah diperolehnya. Kelak ia
juga mewartakan devosi yang sudah dialaminya sendiri itu.
Pada tahun 1812, diusia 27 tahun, Jean mengikuti studi filosofi di Verrieres. Karena kesulitan mengikuti studi filosofi dalam bahasa Latin, Jean harus mengikuti pelajaran itu dalam bahasanya sendiri yaitu bahasa Perancis.
Situasi itu membuatnya sering diolok-olok namun ia tak pernah sekalipun terpancing untuk marah. Segala hinaan itu justru memperkuat hidup doa dan devosinya.
Ketika tiba saatnya ujian masuk seminari tinggi yang dilakukan secara lisan di hadapan uskup agung dan stafnya, sebuah pertanyaan diajukan padanya dalam bahasa Latin.
Mendadak seluruh ingatannya terhadap apa yang sudah dipelajarinya lenyap, Jean tidak mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Dan menjadi satu-satunya peserta studi yang dinyatakan gagal untuk melanjutkan ke seminari tinggi.
Betapa Jean sangat
terpukul, ia menangis dan merasa seluruh kerja keras serta upayanya selama delapan tahun
ternyata gagal.
Namun dalam situasi itu, iman Jean Vianney kepada Tuhan tetap tak tergoyahkan, dan oleh karenanya Tuhan membuka jalan baginya melalui Pastor Bailey. Pastor Bailey sangat mengenal kualitas karakter Jean dan memohon otoritas seminari untuk menguji Jean Vianney secara prbadi keesokan harinya.
Jean dinyatakan lulus dengan amat memuaskan sehingga ia diperkenankan memasuki seminari tinggi untuk studi teologi di tahun 1814.
Kesungguhan dan kemuliaan hatinya dalam
kehidupan di seminari, membuat pemimpin seminari memberinya rekan sekamar yang
pandai dan rela membantunya belajar. Dengan berbagai bantuan itu, akhirnya Jean
berhasil menyelesaikan studinya dan bersiap menerima tahbisan imamat.
Tahun 1814 itu terjadi kebutuhan
yang besar dan mendesak akan para imam. Atas dasar itu, Jean dan
kawan-kawannya
direncanakan menerima tahbisan prodiakon secepatnya. Namun para
pemimpin seminari merasa ragu. Bagaimana seorang dengan kualifikasi yang sangat
tidak memadai seperti Jean Vianney bisa diijinkan menerima tahbisan?
Namun berdasarkan keyakinan vikaris
jendral dan otoritas
seminari akan kesalehan Jean dan devosinya kepada Bunda
Maria Yang Terberkati, Jean Vianney diijinkan menerima tahbisan diakon pada tanggal 2
Juli 1814.
Pada bulan Agustus 1815, Jean Vianney ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Grenoble di usia 29 tahun. Pastor Jean Vianey mempraktekkan hidup pastoralnya dan menjadi Pastor Paroki dengan penuh kesalehan dan mati raga. Bersama Pastor Bailey, menjalani adorasi dan persekutuan cinta kepada Tuhan berjam-jam di depan Tabernakel.
Ia hanya makan sedikit dan semua penghasilannya yang amat minim diberikannya seluruhnya untuk orang miskin. Ia tidak memiliki apapun kecuali pakaian yang menempel di badannya karena semua yang diberikan kepadanya ia berikan kepada orang miskin dan mengunjungi umat yang miskin tiap-tiap harinya, menghibur dan menolong mereka.
Pada tahun 1818, setelah Pastor Bailey
wafat, Pastor
Vianney ditugaskan menjadi pastor paroki di Ars. Vikaris jendral berpesan kepada Vianey “Sahabatku,
engkau akan bertugas di sebuah paroki kecil di mana sangat sedikit kasih Tuhan
bisa dirasakan di sana. Engkau akan membangkitkan lagi api kasih Allah di
sana!”
Kelak, dalam beberapa dekade, sang Vikjen sama sekali tidak
menyangka, desa kecil Ars akan berkembang begitu rupa bagaikan sebuah jantung
yang berdenyut penuh cinta kasih Allah, menyebarkan kehangatannya ke seluruh
negeri.
Pastor Jean melakukan semua upaya yang ia bisa untuk membangkitkan nyala api iman yang redup dan nyaris mati di Ars. Dia berinisiatif datang berkunjung ke rumah umatnya, secara berkala. Mengajak mereka mengobrol akrab tentang keseharian mereka, kepedulian, dan kekhawatiran mereka, harapan dan kekecewaan mereka.
Pastor Vianney mengarahkan percakapan
kepada tema-tema penyelenggaraan ilahi. Namun ia menyampaikan semua itu dengan
sikap menyenangkan, tidak memaksa, sabar, dan tidak menghakimi. Semua sikap itu
adalah cermin dari keluhuran hatinya, yang segera memenangkan hati banyak orang. Umat
Paroki Ars kini
berbalik menanti-natikan kunjungannya, dan merasa terhormat bila ia datang
bertamu.
Sejak masih di seminari Pastor Vianney memiliki kelemahan memori, yang telah mempersulit perjalanan studinya hingga nyaris gagal. Kelemahan ini juga mempersulitnya dalam menyiapkan kotbah.
Namun, berkat
pertolongan Tuhan, kelemahan
itu tidak menjadi penghalang baginya. Sehingga walau ia tidak dikaruniai bakat
alam untuk berpidato di depan banyak orang, ia bisa berbicara dengan lancar,
serius dan meyakinkan.
Bertahun-tahun sesudah Ars menjadi
pusat peziarahan umat dari seluruh Perancis, kadang mencapai 20.000 orang per
tahunnya, Pastor Vianney senantiasa
mampu memberikan kotbah harian dari altar dengan mantap dan indah.
Dengan bantuan umat parokinya, Pastor Vianney berhasil membangun dua kapel baru yang melengkapi bangunan gereja utama. Salah satu kapel didedikasikan kepada St. Filomena, seorang remaja putri 14 tahun yang menjadi martir.
Kapel lainnya dipersembahkan kepada St. Yohanes Pembaptis, dan di
dalamnya terletak ruang pengakuan dosa yang dikenal dengan sebutan “Bangku
Belas Kasihan dari Yang Kuasa”, di mana ribuan jiwa mengalami rekonsiliasi kembali
dengan Sang Penciptanya, karena pelayanan dan nasehat yang penuh kuasa dan
cinta ilahi dari Pastor Jean Vianney.
Kemurahan hati Pastor Vianney nyaris tak terbatas. Makanan, pakaian, dan pasokan kebutuhan sehari-hari lainnya yang diberikan dengan murah hati oleh bangsawan Ars untuknya, diberikannya kepada orang-orang miskin. Ia hanya menyimpan sangat sedikit untuk dirinya.
Bahkan yang sudah sedikit itu pun sering
ia berikan juga, jika ada orang miskin yang datang untuk meminta makanan. Ia hanya
makan sekali sehari. Pastor Vianney selalu
berusaha hidup mati raga dan penyangkalan diri dan tidak membiarkan orang
lain atau keluarganya mengetahui akan hal itu.
Ia mempersembahkan mati raganya untuk kesejahteraan umatnya, dan meningkatkan kebiasaannya itu menjelang Paskah, dan kapanpun itu jika dapat menyentuh hati para pendosa yang keras. Ia biasa bangun jam dua pagi untuk beradorasi di hadapan Tabernakel.
Setelah itu,
ia akan memberi
pengarahan pada kelas katekis dan mendengarkan pengakuan dosa umatnya. Setiap hari ia
selalu ada di gereja sampai tengah hari. Pada sore hari ia mengunjungi orang yang sakit dan
sisa waktunya ia habiskan di gereja.
Perkembangan spiritual yang pesat yang terjadi pada paroki di Ars lama kelamaan didengar oleh seluruh negeri. Imam-imam dari paroki lain memohon bantuannya memberi kotbah dan memberikan Sakramen Pengakuan Dosa. Pastor Vianney tidak pernah menolak permohonan bantuan ini, sehingga dalam dua tahun, ia menjadi rasul Kristus yang sangat dikenal di lingkungan katedral.
Begitu suksesnya pekerjaan spiritualnya sehingga orang
tidak lagi menunggu dia datang lagi mengunjungi paroki mereka, tetapi mereka
sendiri yang datang langsung ke Ars. Segera jalan-jalan desa Ars dipenuhi para
pejalan kaki dan kendaraan yang membawa sejumlah besar pengunjung, dan
peziarahan itu terus meningkat seiring mulai tersiarnya berbagai kabar mengenai
mukjizat-mukjizat yang terjadi di Ars.
Di tahun 1825, atas bantuan seorang donatur, Pastor Vianney membeli sebuah rumah yang kemudian dikenal dengan nama “House of Providence” (Rumah Penyelenggaraan Ilahi). Di rumah itu, dikumpulkannya semua orang miskin yang terabaikan, yang tak punya rumah, dan anak-anak yatim piatu di Ars. Mereka dirawat dan dicukupi segala kebutuhan fisik dan spiritualnya.
Rumah ini dikelola Pastor Vianney
selama dua puluh lima tahun. Kebutuhan finansial rumah dicukupi oleh dana yang
disumbangkan para donatur kepadanya. Ketika suatu hari mereka
kehabisan makanan, tidak ada lagi makanan yang tersisa dan tak ada cukup uang
untuk membeli bahan makanan. Pastor
Vianney telah mendatangi semua orang, namun tidak ada yang bisa membantu.
Kemudian ia teringat akan St. Francis Regis dan memutuskan untuk mencari pertolongan dari Surga. Ia membawa relikwi santo Francis ke ruang penyimpanan makanan, lalu menutupinya dengan remah-remah tepung gandum yang tersisa. Keesokan harinya para pengelola rumah itu mengingatkan dia bahwa tak ada lagi tersisa makanan untuk dimakan.
Pastor
Vianney menangis dan mengatakan bahwa mereka mungkin harus membiarkan anak-anak
yang miskin itu pergi. Bersama seorang stafnya Pastor Vianney pergi ke ruang penyimpanan dengan
kecemasan yang besar membuka pintunya, dan saat itu dilihatnya ruang
penyimpanan yang tadinya kosong itu ternyata telah penuh dengan gandum.
Menyaksikan mujizat itu Pastor
Vianney justru merasa merasa sangat malu, karena ia telah merasa nyaris putus
asa pada awalnya. Ia segera mengatakan kepada anak-anak, “Lihatlah anak-anak
terkasih, saya telah sempat tidak mempercayai Tuhan yang begitu baik. Saya
telah hampir meminta kalian semua pergi, dan untuk semua ini Dia telah
menghukum saya.”
Berita mukjizat penambahan
persediaan makanan itu segera tersebar. Seluruh warga paroki mengunjungi ruang
penyimpanan itu dan setiap orang merasa yakin dengan apa yang mereka lihat.
Uskup Belley kemudian menyelidiki
peristiwa itu secara pribadi dan menemukan kenyataan seperti yang didengarnya.
Serangan si Jahat
Selama masa itu, Pastor Vianney juga mengalami gangguan yang terus menerus dari Si Jahat. Hampir setiap malam ia mendengar suara ketukan yang terus menerus di pintu rumahnya. Gangguan itu membuatnya tidak bisa beristirahat cukup di malam hari, setelah sepanjang harinya bekerja tanpa henti.
Serangan Si
Jahat itu berlangsung tak kurang dari tiga puluh lima tahun hidupnya. Sungguh
merupakan mukjizat bahwa dalam keadaan tersiksa oleh kelelahan fisik dan
mental, dan masih ditambah lagi hidup mati raga yang melemahkan tubuhnya,
Pastor Jean dikaruniai hidup yang penuh karya indah selama tujuh puluh empat
tahun.
Pastor Vianney juga mendapat tuduhan palsu, ia dilaporkan kepada uskup pemimpin Keuskupan Belley, di mana paroki Ars bernaung dengan mengatakan bahwa Pastor Vianney tidak layak dipercaya membimbing umat dan membawa jiwa-jiwa kepada Tuhan. Namun sang uskup tidak ingin memberi keputusan tanpa melakukan pemeriksaan.
Ia
mengirim vikaris jendralnya ke Ars dan memberi perintah kepada Pastor Vianney
untuk melaporkan ke yurisdiksi episkopal semua permasalahan yang sulit yang
pernah dihadapinya beserta semua saran yang telah ia berikan untuk kasus-kasus
itu.
Pastor Vianney menyambut permintaan itu dan segera menyerahkan catatan dari lebih dua ratus kasus. Uskup Devie memeriksanya sendiri dan menemukan bahwa keputusan-keputusan Pastor Vianney sangat tepat. Sejak saat itu ia tidak lagi mengijinkan siapapun mengatakan bahwa Pastor Vianney tidak mampu.
Sang uskup berkunjung secara prbadi ke rumah
Pastor Vianney di Ars dan menemukan seorang yang saleh dan kudus, sama sekali
bukan seorang dengan berbagai hal
negatif yang disampaikan orang kepadanya. Kerendahan hati dan kebaikan Pastor Vianney juga yang
akhirnya menyadarkan semua orang yang membencinya.
Pada bulan November 1847, “Rumah
Penyelenggaraan Ilahi” yang didirikannya mendadak diputuskan untuk tidak lagi
ada dalam pengelolaan Pastor Vianney, karena dianggap bukan merupakan institusi sekolah atau
rumah sakit. Dengan
sedih hati, Pastor Vianney menyerahkan rumah itu dikelolah oleh suster-suster
St. Yusuf dari Bourg dan diubah
menjadi institusi “Sekolah Gratis bagi Para Gadis”.
Rencana Tuhan
Namun peristiwa ini merupakan awal rencana Tuhan yang agung baginya, sejak itu seluruh hidup Pastor Vianney didedikasikan kepada usaha pertobatan para pendosa, melalui sakramen pengakuan yang diberikannya kepada umat yang berkunjung ke Ars, yang kian hari kian banyak jumlahnya.
Beberapa kali Pastor Vianney berniat untuk mengundurkan diri dari tugas-tugas imamat, dan ingin menyepi menghabiskan sisa hidup miskinnya di hadapan Allah. Tetapi banyak umat memprotes rencananya itu, akhirnya Pastor Vianney membatalkannya.
Ia menyadari
bahwa adalah rencana kudus Tuhan sendiri yang menghendaki dia untuk tetap
tinggal dan melanjutkan karya-karya pastoralnya yang amat diharapkan oleh
banyak orang, terutama mereka yang merasa kehilangan pegangan dan rindu untuk
bersatu kembali dengan Tuhan.
Sepanjang tahun di antara
tahun 1825 dan 1830, banyak peziarah datang ke Ars. Banyak sekali umat yang
datang ingin bertemu dan berkonsultasi serta mengakukan dosa dosa mereka kepada
Pastor Jean Vianney. Begitu banyaknya jumlah orang yang datang sehingga
akomodasi perjalanan yang meningkat pesat memerlukan pengaturan khusus di
antara Ars dan desa-desa lain di sekitarnya.
Para peziarah berdatangan dari
setiap propinsi di Perancis, sebagian datang pula dari Belgia dan Inggris,
sebagian lagi dari Amerika. Ketenaran Pastor Vianney menyebar dari mulut ke
mulut, terutama dari mereka yang telah mendapat pengalaman pribadi di bawah
bimbingan Pastor Vianney.
Dengan perasaan kagum yang makin meningkat, peziarah yang baru datang menyaksikan bagaimana pastor yang rendah hati itu memenangkan jiwa-jiwa. Para pria dan wanita berdoa dengan khusuk berlangsung terus dari jam ke jam, sementara ratusan orang mengantri untuk pengakuan dosa-dosa mereka.
Pastor Jean Vianney biasa mendengarkan pengakuan selama enam belas
hingga tujuh belas jam setiap hari, dan ini berlangsung dalam kurun waktu tiga
puluh tahun.
Dalam nasehat-nasehatnya Pastor Vianney mengajarkan bahwa cinta manusia kepada Tuhan seharusnya merupakan suatu hal yang alamiah sebagaimana seekor burung dan kicauannya. Ia juga selalu mengingatkan akan sukacita besar yang dialami setiap manusia karena mengalami cinta kasih Allah yang penuh pengorbanan.
Berulang-ulang ia juga mengatakan, “Berdoalah bagi pertobatan para pendosa!” Ia
menyatakan bahwa intensi doa semacam itu adalah salah satu hal yang paling
disenangi oleh Tuhan yang Maha Baik.
Tanpa henti, Pastor Jean sendiri
berdoa dan bermati raga untuk ujud tersebut. Permohonannya yang tekun itu naik
tinggi sampai ke hadirat Allah. Allah dengan gembira mengirimkan pendosa tak
berhingga jumlahnya, untuk dapat diperdamaikan kembali dengan Tuhan melalui
karya pastoral Pastor Vianney.
Banyak umat berlutut di kakinya
dengan hati telah siap, karena telah mendengar dari umat lain betapa manis dan
mudahnya untuk mengakukan dosa kepada pastor yang kudus itu dan menerima bimbingannya,
untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan dengan seluruh hati mereka.
Pastor Vianney mendapat karunia dari Tuhan sebuah kemampuan untuk mengetahui dengan jelas apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh seorang pendosa. Hampir setiap hari, orang akan melihatnya tiba-tiba keluar dari sakristi untuk kemudian langsung menghampiri seseorang yang baru saja masuk ke dalam gereja.
Dengan wajah ramah namun serius, Pastor Vianney menuntun orang itu masuk ke ruang pengakuan. Banyak orang kemudian mengetahui, bahwa tanpa banyak membuang waktu, Pastor Jean akan segera menyebutkan dosa-dosa dan kesalahan orang itu di depannya, sebelum yang bersangkutan sempat mengatakannya.
Dengan kemampuan dan cara seperti
itu, Pastor Vianney menyingkirkan semua halangan yang mungkin menghambat
seseorang untuk dapat mengalami rekonsiliasi penuh dengan Tuhan.
Pastor Vianney juga mampu melihat ke depan manakala seseorang akan kembali berdosa di masa depan dan membuatnya kembali ke Ars, yang dibantunya untuk sembuh kembali. Kemampuan yang sama juga dimilikinya untuk melihat meningkatnya kekudusan jiwa seseorang di bawah suatu penderitaan fisik dan kehendak Tuhan bahwa kesembuhan tidak akan terjadi pada orang itu.
Juga ia dapat melihat suatu salib yang menunggu seorang
peziarah sekembalinya dari Ars, atau melihat dengan mata batin, bahwa suatu
kesembuhan tengah terjadi di tempat yang jauh.
Sinar mata Pastor
Vianney yang jernih
memantulkan kesalehan yang tulus yang dari jiwanya. Ke manapun ia pergi,
orang-orang akan mengerumuninya, menarik jubahnya, dan menanyakan berbagai hal
kepadanya, termasuk hal-hal yang sangat sederhana, yang tetap ditanggapi Pastor
Vianney dengan
penuh respek.
Kebaikannya yang tidak pernah berubah membuatnya dijuluki “Pastor yang baik” sepanjang karirnya sebagai imam. Ia juga sangat menjaga dan menghormati rekan-rekan sesama imam, berusaha agar pekerjaan-pekerjaan yang sulit atau yang tidak menyenangkan tidak sampai ke tangan mereka.
Untuk menyatakan kasihnya, ia sering membagikan barang-barang
pribadinya kepada mereka termasuk salib, medali, dan relikwi, walaupun semua benda
itu sebenarnya merupakan benda-benda kesayangannya.
Selama tahun-tahun terakhir
menjelang akhir hidupnya, Pastor Vianney praktis tidak memiliki apa-apa
lagi. Ia telah menjual segala perabotan, buku-buku, dan berbagai benda
miliknya untuk diberikan kepada orang miskin.
Ketika superiornya mulai melarang dia untuk bermati raga terlalu keras demi kesehatannya, ia berusaha menemukan cara lain untuk melakukan mati raga lewat makanannya sehari-hari.
Pastor Jean
juga menderita suatu penyakit yang membuatnya sering harus mempersingkat
homilinya di altar, bahkan tak jarang rasa sakit itu membuatnya pingsan. Jika
ditanya mengenai itu, ia hanya menjawab, “Ya, saya hanya sakit sedikit saja”.
Padahal dengan tubuh yang sudah begitu lemah karena mati raga, ditambah rasa sakitnya, dan terkurung di dalam sempitnya ruang pengakuan dosa selama enam belas atau tujuh belas jam sehari, tentu penderitaan tubuhnya sama sekali tidak ringan.
Waktu untuk beristirahat
di malam hari seringkali hanya tersisa satu jam saja, dan waktu yang sangat
sedikit itu pun sering tak bisa dinikmatinya dengan baik, karena batuk yang
hebat mengguncang tubuhnya tak henti.
Dalam semalam ia bisa terbangun empat atau lima kali, berharap bisa meringankan penderitaannya dengan berjalan-jalan ringan. Ketika sudah menjadi sangat lelah akhirnya ia tertidur tetapi terkadang karena sudah waktunya matahari terbit, segera ia bangun lagi untuk bekerja kembali di hari yang baru.
Waktu luangnya ia habiskan untuk
berdoa. Dalam mengunjungi orang sakit, pikirannya selalu tertuju kepada Tuhan.
Namun doa-doanya selalu sangat sederhana. Ia memilih untuk senantiasa sederhana
dalam segala tindakannya.
Cintanya kepada Tuhan begitu dalam, sehingga tak jarang hatinya terasa tercabik dan air matanya mengalir deras saat mendengarkan berbagai perbuatan dosa berat yang dilakukan orang-orang yang mengaku dosa kepadanya.
Ia merasakan betapa sakitnya luka-luka dan hinaan yang
diterima Yesus dan betapa cinta-Nya ditolak melalui dosa-dosa yang diperbuat
oleh umat-Nya.
Betapapun besar dan mengagumkan hasil pekerjaan pelayanannya, Pastor Jean selalu menganggap dirinya tidak mampu untuk menjalankan tugas-tugas imamatnya sebagaimana seharusnya.
Tanpa rasa
bangga ia menyebut dirinya “jiwa yang miskin”, dan tubuh fisiknya, “mayat yang
miskin”, dan “kesengsaraan yang miskin”, sambil berdoa semoga Tuhan masih
berkenan memakai segala kemiskinannya itu.
Saya menyadari kerendahan
hatinya inilah yang
membuat Pastor Jean Vianney menjadi seorang kudus. Itulah kunci kekudusannya,
karena tanpa kerendahan hati itu, ia tak akan bertahan terhadap penyembahan dan
kekaguman ribuan orang yang telah menyaksikan kekudusan hidupnya.
Akhir Hayat
Keesokan paginya sakitnya menjadi begitu parah sehingga dikhawatirkan ia akan segera meninggal. Semua umat di Ars dan para pengunjung merasakan kesedihan yang dalam. Selama tiga hari, gereja penuh dengan umat, yang berdoa dengan sungguh memohon Tuhan untuk tidak mengambil imam kesayangan mereka.
Jumat petang ia menerima Sakramen Perminyakan. Ia menangis haru ketika Viaticum Kudus (Sakramen Ekaristi terakhir sebagai bekal perjalanan pulang ke rumah Bapa) diberikan kepadanya. Untuk terakhir kalinya ia memberkati semua yang hadir beserta seluruh umat parokinya.
Pada hari Kamis 4 Agustus 1859, pukul dua dini hari, saat rekan-rekannya sedang mengucapkan doa bagi orang yang menghadapi ajal dan tengah berkata: “Kiranya para Malaikat kudus Allah datang menjumpainya dan memimpinnya ke dalam kota kudus Yerusalem Surgawi”, jiwa Pastor Jean meninggalkan tubuhnya, menghadap Sang Penciptanya, yang telah ia layani dengan begitu setia sepanjang hidupnya. diistirahatkan di bawah altar paroki Ars
Pastor Vianney dibeatifikasi
oleh Paus Pius X pada 8
Januari 1905. Dikanonisasi
pada tanggal 31 Mei 1925 oleh Paus Pius XI. Dan diangkat menjadi ‘Pelindung
Surgawi bagi para ‘Pastor Paroki’. Pestanya dirayakan setiap tanggal 4 Agustus.
Jasadnya yang sampai sekarang masih utuh disemayamkan di Gereja Basilika di
Ars.
Santo Yohanes Maria Vianney memberikan kita
pelajaran bahwa rahmat yang besar datang kepada kita dibarengi dengan berbagai
pencobaan yang besar juga.
Selama sepuluh tahun awal pelayanannya,
ia mengalami banyak tuduhan, kecurigaan, ketidakpercayaan, dan fitnah. Ia menjadi
bahan olok-olokan dan kritikan orang-orang yang tidak suka kepadanya. Ia diancam
dengan kekerasan.
Dengan kesabaran Pastor Vianney
menanggung tahun-tahun yang penuh kepahitan. Kesungguhan dan kesalehannya tidak
luntur sedikitpun. Semua
pergumulan batinnya itu ia jadikan kekuatan untuk menjalankan tugas-tugas
pastoralnya.
Kesungguhan dan kerendahan hatinya membuat Tuhanpun menyatakan kemuliaan-Nya yang besar dan penuh kuasa dalam diri seorang pastor sederhana, lambat dan bodoh.
Tapi
kekuatan Tuhan menyempurnakan semua kelemahan itu menjadi mujizat nyata dalam
hidupnya yang membawa pemulihan dan penyembuhan bagi semua umat yang datang
kepadanya maupun bagi kita semua di masa sekarang.
Panjang ya
kisahnya, tapi saya senang sekali membacanya. Semoga kisah istimewah ini juga
membawa sukacita dan hikmat buat semua yang sempat membacanya. Terima kasih ya….
Tuhan memberkati… Salve….











Tidak ada komentar:
Posting Komentar