Minggu, 22 November 2020

SANTO YOHANES MARIA VIANNEY, Sang Pastor dari Ars

Salve sahabat Tuhan Yesus dan Bunda Maria…

Semoga kita semua senantiasa dalam perlindungan dan berkat Tuhan. Memasuki kisah ke empat belas, dari Orang-orang Kudus Pilihan Allah yang jasadnya tetap utuh, dan sudah saya bagikan di Blog saya ini, adakah  yang sudah sungguh-sungguh menyentuh hati dan jiwa kita?

Pengalaman saya, setiap pribadi para Kudus yang saya kisahkan disini punya keistimewaan masing-masing yang menyentuh jiwa saya. Entah itu cara hidup mereka yang sungguh-sungguh fokus dan mengandalkan Tuhan, ataupun cara Tuhan menyatakan kemuliaannya dalam diri orang-orang pilihan-Nya ini.

Kisah kali ini, membuat saya sungguh merasakan kekaguman yang luar biasa akan kebesaran Allah, saya tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkannya. Bagaimana Dia menyatakan kemuliaan-Nya dalam diri seorang pastor yang lemah, lamban bahkan bodoh dan dianggap sama sekali tidak punya kemampuan apa2. 

Santo Yohanes Maria Vianney

Jean Baptist Marie Vianney atau Yohanes Maria Vianey, lahir di Dardilly, sebuah wilayah di Perancis Selatan, pada tanggal 8 Mei  1786.  Ia lahir sebagai anak keempat dari pasangan Mathieu Vianney dan Marie Beluse, sebuah keluarga pedesaan yang bersahaja. 

Keluarga ini memiliki beberapa bidang tanah dan tempat tinggal yang sederhana. Jean Baptist Marie Vianney di kemudian hari menjadi sangat dikenal dengan sebutan ‘Sang Pastor dari Ars’.

Jean atau Yohanes kecil sangat terinspirasi oleh kepedulian kedua orangtuanya kepada orang miskin . Meskipun secara materi mereka sendiri bukan keluarga kaya namun rumah mereka selalu terbuka untuk orang miskin yang membutuhkan makanan dan pertolongan lainnya. 

Di 4-5 tahun, ia sudah mempunyai kesukaan untuk menyendiri, yang menurut sebuah sumber, dilakukannya untuk berbicang-bincang dengan malaikat pelindungnya. Di masa remaja, Jean membantu orangtuanya bertani dan memelihara ternak.  

Ia juga gemar melayani dengan penuh simpati orang-orang miskin yang berdatangan ke rumah orangtuanya. Ia pergi menjumpai  orang-orang sederhana di jalan dan membawa pulang baju mereka yang sobek, agar dapat dijahit dan diperbaiki oleh ibunya di rumah.

Ketika Revolusi Perancis merebak, gereja-gereja ditutup dan banyak pastor yang diusir. Jean yang telah semakin dewasa dan semakin matang dalam iman, berinisiatif mengumpulkan anak-anak di desanya. 

Ia mengajar mereka tentang Kitab Suci dengan cara yang sederhana namun serius. Kesehariannya dipenuhi kegiatan bekerja dengan tekun dan rajin serta banyak berdoa, sehingga pekerjaannya sendiri adalah sebenarnya suatu doa yang terus menerus. 

Sengsara Kristus dan mukjizat-mukjizat-Nya adalah sumber meditasi jiwa yang tak pernah kering baginya. Di akhir hari, bersama ibu dan kakaknya, Catherine, ia merenungkan Kitab Suci dan kisah para Kudus.


Di usia 19 tahun, atas restu orangtuanya, Jean masuk seminari yang dibuka di daerahnya oleh seorang misionaris gigih pada masa itu, Pastor Bailey, pastor paroki di Ecully, sebuah desa tetangga Dardilly. 

Sejak awal, Jean sangat lemah dalam hal belajar, ia baru bisa membaca dengan baik pada usia 18 tahun. Dan kelemahan itu semakin bertambah terutama bahasa Latin. Namun pastor Bailey sangat sabar mendampinginya.

Jean memiliki devosi khusus kepada Bunda Maria Perawan Terberkati dan Santo Francis Regis dari Vivarais, orang kudus yang menjadi devosi Jean sejak masa kanak-kanak. Ia banyak memperoleh pertolongan di masa studynya dengan perantaraan St. Francis dan selalu mengingat dengan penuh syukur pertolongan yang telah diperolehnya. Kelak ia juga mewartakan devosi yang sudah dialaminya sendiri itu.

Santo Francis Regis dari Vivarais

Pada tahun 1812, diusia 27 tahun, Jean mengikuti studi filosofi di Verrieres. Karena kesulitan mengikuti studi filosofi dalam bahasa Latin, Jean harus mengikuti pelajaran itu dalam bahasanya sendiri yaitu bahasa Perancis. 

Situasi itu membuatnya sering diolok-olok namun ia tak pernah sekalipun terpancing untuk marah. Segala hinaan itu justru memperkuat hidup doa dan devosinya. 

Ketika tiba saatnya ujian masuk seminari tinggi yang dilakukan secara lisan di hadapan uskup agung dan stafnya, sebuah pertanyaan diajukan padanya dalam bahasa Latin. 

Mendadak seluruh ingatannya terhadap apa yang sudah dipelajarinya lenyap, Jean tidak mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Dan menjadi satu-satunya peserta studi yang dinyatakan gagal untuk melanjutkan ke seminari tinggi. 

Betapa Jean sangat terpukul, ia menangis dan merasa seluruh kerja keras serta upayanya selama delapan tahun ternyata gagal.

Namun dalam situasi itu, iman Jean Vianney kepada Tuhan tetap tak tergoyahkan, dan oleh karenanya Tuhan membuka jalan baginya melalui Pastor Bailey. Pastor Bailey sangat mengenal kualitas karakter Jean dan memohon otoritas seminari untuk menguji Jean Vianney secara prbadi keesokan harinya. 

Jean dinyatakan lulus dengan amat memuaskan sehingga ia diperkenankan memasuki seminari tinggi untuk studi teologi di tahun 1814.

Kesungguhan dan kemuliaan hatinya dalam kehidupan di seminari, membuat pemimpin seminari memberinya rekan sekamar yang pandai dan rela membantunya belajar. Dengan berbagai bantuan itu, akhirnya Jean berhasil menyelesaikan studinya dan bersiap menerima tahbisan imamat.

Tahun 1814 itu terjadi kebutuhan yang besar dan mendesak akan para imam. Atas dasar  itu, Jean dan kawan-kawannya direncanakan menerima tahbisan prodiakon secepatnya. Namun para pemimpin seminari merasa ragu. Bagaimana seorang dengan kualifikasi yang sangat tidak memadai seperti Jean Vianney bisa diijinkan menerima tahbisan?

Namun berdasarkan keyakinan vikaris jendral dan otoritas seminari akan kesalehan Jean dan devosinya kepada Bunda Maria Yang Terberkati, Jean Vianney diijinkan menerima tahbisan diakon pada tanggal 2 Juli 1814.

Pada bulan Agustus 1815, Jean Vianney ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Grenoble di usia 29 tahun. Pastor Jean Vianey mempraktekkan hidup pastoralnya dan menjadi Pastor Paroki dengan penuh kesalehan dan mati raga. Bersama Pastor Bailey, menjalani adorasi dan persekutuan cinta kepada Tuhan berjam-jam di depan Tabernakel. 

Ia hanya makan sedikit dan semua penghasilannya yang amat minim diberikannya seluruhnya untuk orang miskin. Ia tidak memiliki apapun kecuali pakaian yang menempel di badannya karena semua yang diberikan kepadanya ia berikan kepada orang miskin dan mengunjungi umat yang miskin tiap-tiap harinya, menghibur dan menolong mereka.

Pada tahun 1818, setelah Pastor Bailey wafat, Pastor Vianney ditugaskan menjadi pastor paroki di Ars. Vikaris jendral berpesan kepada Vianey “Sahabatku, engkau akan bertugas di sebuah paroki kecil di mana sangat sedikit kasih Tuhan bisa dirasakan di sana. Engkau akan membangkitkan lagi api kasih Allah di sana!”

Kelak, dalam beberapa dekade, sang Vikjen sama sekali tidak menyangka, desa kecil Ars akan berkembang begitu rupa bagaikan sebuah jantung yang berdenyut penuh cinta kasih Allah, menyebarkan kehangatannya ke seluruh negeri.

Pastor Jean melakukan semua upaya yang ia bisa untuk membangkitkan nyala api iman yang redup dan nyaris mati di Ars. Dia berinisiatif datang berkunjung ke rumah umatnya, secara berkala. Mengajak mereka mengobrol akrab tentang keseharian mereka, kepedulian, dan kekhawatiran mereka, harapan dan kekecewaan mereka.

Pastor Vianney mengarahkan percakapan kepada tema-tema penyelenggaraan ilahi. Namun ia menyampaikan semua itu dengan sikap menyenangkan, tidak memaksa, sabar, dan tidak menghakimi. Semua sikap itu adalah cermin dari keluhuran hatinya, yang segera memenangkan hati banyak orang. Umat Paroki Ars kini berbalik menanti-natikan kunjungannya, dan merasa terhormat bila ia datang bertamu.

Sejak masih di seminari Pastor Vianney memiliki kelemahan memori, yang telah mempersulit perjalanan studinya hingga nyaris gagal. Kelemahan ini juga mempersulitnya dalam menyiapkan kotbah. 

Namun, berkat pertolongan Tuhan, kelemahan itu tidak menjadi penghalang baginya. Sehingga walau ia tidak dikaruniai bakat alam untuk berpidato di depan banyak orang, ia bisa berbicara dengan lancar, serius dan meyakinkan.

Bertahun-tahun sesudah Ars menjadi pusat peziarahan umat dari seluruh Perancis, kadang mencapai 20.000 orang per tahunnya, Pastor Vianney senantiasa mampu memberikan kotbah harian dari altar dengan mantap dan indah.

Dengan bantuan umat parokinya, Pastor Vianney berhasil membangun dua kapel baru yang melengkapi bangunan gereja utama. Salah satu kapel didedikasikan kepada St. Filomena, seorang remaja putri 14 tahun yang menjadi martir. 

Kapel lainnya dipersembahkan kepada St. Yohanes Pembaptis, dan di dalamnya terletak ruang pengakuan dosa yang dikenal dengan sebutan “Bangku Belas Kasihan dari Yang Kuasa, di mana ribuan jiwa mengalami rekonsiliasi kembali dengan Sang Penciptanya, karena pelayanan dan nasehat yang penuh kuasa dan cinta ilahi dari Pastor Jean Vianney.

Kemurahan hati Pastor Vianney nyaris tak terbatas. Makanan, pakaian, dan pasokan kebutuhan sehari-hari lainnya yang diberikan dengan murah hati oleh bangsawan Ars untuknya, diberikannya kepada orang-orang miskin. Ia hanya menyimpan sangat sedikit untuk dirinya.

Bahkan yang sudah sedikit itu pun sering ia berikan juga, jika ada orang miskin yang datang untuk meminta makanan. Ia hanya makan sekali sehari. Pastor Vianney selalu berusaha hidup mati raga dan penyangkalan diri dan tidak membiarkan orang lain atau keluarganya mengetahui akan hal itu.

Ia mempersembahkan mati raganya untuk kesejahteraan umatnya, dan meningkatkan kebiasaannya itu menjelang Paskah, dan kapanpun itu jika dapat menyentuh hati para pendosa yang keras. Ia biasa bangun jam dua pagi untuk beradorasi di hadapan Tabernakel. 

Setelah itu, ia akan memberi pengarahan pada kelas katekis dan mendengarkan pengakuan dosa umatnya. Setiap hari ia selalu ada di gereja sampai tengah hari. Pada sore hari ia mengunjungi orang yang sakit dan sisa waktunya ia habiskan di gereja.

Perkembangan spiritual yang pesat yang terjadi pada paroki di Ars lama kelamaan didengar oleh seluruh negeri. Imam-imam dari paroki lain memohon bantuannya memberi kotbah dan memberikan Sakramen Pengakuan Dosa. Pastor Vianney tidak pernah menolak permohonan bantuan ini, sehingga dalam dua tahun, ia menjadi rasul Kristus yang sangat dikenal di lingkungan katedral. 

Begitu suksesnya pekerjaan spiritualnya sehingga orang tidak lagi menunggu dia datang lagi mengunjungi paroki mereka, tetapi mereka sendiri yang datang langsung ke Ars. Segera jalan-jalan desa Ars dipenuhi para pejalan kaki dan kendaraan yang membawa sejumlah besar pengunjung, dan peziarahan itu terus meningkat seiring mulai tersiarnya berbagai kabar mengenai mukjizat-mukjizat yang terjadi di Ars.

Di tahun 1825, atas bantuan seorang donatur, Pastor Vianney membeli sebuah rumah yang kemudian dikenal dengan nama “House of Providence”  (Rumah Penyelenggaraan Ilahi). Di rumah itu, dikumpulkannya semua orang miskin yang terabaikan, yang tak punya rumah, dan anak-anak yatim piatu di Ars. Mereka dirawat dan dicukupi segala kebutuhan fisik dan spiritualnya.  

Rumah ini dikelola Pastor Vianney selama dua puluh lima tahun. Kebutuhan finansial rumah dicukupi oleh dana yang disumbangkan para donatur kepadanya. Ketika suatu hari mereka kehabisan makanan, tidak ada lagi makanan yang tersisa dan tak ada cukup uang untuk membeli bahan makanan. Pastor Vianney telah mendatangi semua orang, namun tidak ada yang bisa membantu.

Kemudian ia teringat akan St. Francis Regis dan memutuskan untuk mencari pertolongan dari Surga. Ia membawa relikwi santo Francis ke ruang penyimpanan makanan, lalu menutupinya dengan remah-remah tepung gandum yang tersisa. Keesokan harinya para pengelola rumah itu mengingatkan dia bahwa tak ada lagi tersisa makanan untuk dimakan. 

Pastor Vianney menangis dan mengatakan bahwa mereka mungkin harus membiarkan anak-anak yang miskin itu pergi. Bersama seorang stafnya Pastor Vianney pergi ke ruang penyimpanan dengan kecemasan yang besar membuka pintunya, dan saat itu dilihatnya ruang penyimpanan yang tadinya kosong itu ternyata telah penuh dengan gandum.

Menyaksikan mujizat itu Pastor Vianney justru merasa merasa sangat malu, karena ia telah merasa nyaris putus asa pada awalnya. Ia segera mengatakan kepada anak-anak, “Lihatlah anak-anak terkasih, saya telah sempat tidak mempercayai Tuhan yang begitu baik. Saya telah hampir meminta kalian semua pergi, dan untuk semua ini Dia telah menghukum saya.”

Berita mukjizat penambahan persediaan makanan itu segera tersebar. Seluruh warga paroki mengunjungi ruang penyimpanan itu dan setiap orang merasa yakin dengan apa yang mereka lihat. Uskup Belley kemudian menyelidiki peristiwa itu secara pribadi dan menemukan kenyataan seperti yang didengarnya.

Serangan si Jahat

Selama masa itu, Pastor Vianney juga mengalami gangguan yang terus menerus dari Si Jahat. Hampir setiap malam ia mendengar suara ketukan yang terus menerus di pintu rumahnya. Gangguan itu membuatnya tidak bisa beristirahat cukup di malam hari, setelah sepanjang harinya bekerja tanpa henti

Serangan Si Jahat itu berlangsung tak kurang dari tiga puluh lima tahun hidupnya. Sungguh merupakan mukjizat bahwa dalam keadaan tersiksa oleh kelelahan fisik dan mental, dan masih ditambah lagi hidup mati raga yang melemahkan tubuhnya, Pastor Jean dikaruniai hidup yang penuh karya indah selama tujuh puluh empat tahun.

Pastor Vianney juga mendapat tuduhan palsu, ia dilaporkan kepada uskup pemimpin Keuskupan Belley, di mana paroki Ars bernaung dengan mengatakan bahwa Pastor Vianney tidak layak dipercaya membimbing umat dan membawa jiwa-jiwa kepada Tuhan. Namun sang uskup tidak ingin memberi keputusan tanpa melakukan pemeriksaan. 

Ia mengirim vikaris jendralnya ke Ars dan memberi perintah kepada Pastor Vianney untuk melaporkan ke yurisdiksi episkopal semua permasalahan yang sulit yang pernah dihadapinya beserta semua saran yang telah ia berikan untuk kasus-kasus itu. 

Pastor Vianney menyambut permintaan itu dan segera menyerahkan catatan dari lebih dua ratus kasus. Uskup Devie memeriksanya sendiri dan menemukan bahwa keputusan-keputusan Pastor Vianney sangat tepat. Sejak saat itu ia tidak lagi mengijinkan siapapun mengatakan bahwa Pastor Vianney tidak mampu. 

Sang uskup berkunjung secara prbadi ke rumah Pastor Vianney di Ars dan menemukan seorang yang saleh dan kudus, sama sekali bukan seorang dengan berbagai hal negatif yang disampaikan orang kepadanya. Kerendahan hati dan kebaikan Pastor Vianney juga yang akhirnya menyadarkan semua orang yang membencinya.

Pada bulan November 1847, “Rumah Penyelenggaraan Ilahi” yang didirikannya mendadak diputuskan untuk tidak lagi ada dalam pengelolaan Pastor Vianney, karena dianggap bukan merupakan institusi sekolah atau rumah sakit. Dengan sedih hati, Pastor Vianney menyerahkan rumah itu dikelolah oleh suster-suster St. Yusuf dari Bourg dan diubah menjadi institusi “Sekolah Gratis bagi Para Gadis”.

Rencana Tuhan

Namun peristiwa ini merupakan awal rencana Tuhan yang agung baginya, sejak itu seluruh hidup Pastor Vianney didedikasikan kepada usaha pertobatan para pendosa, melalui sakramen pengakuan yang diberikannya kepada umat yang berkunjung ke Ars, yang kian hari kian banyak jumlahnya.

Beberapa kali Pastor Vianney berniat untuk mengundurkan diri dari tugas-tugas imamat, dan ingin menyepi menghabiskan sisa hidup miskinnya di hadapan Allah. Tetapi banyak umat memprotes rencananya itu, akhirnya Pastor Vianney membatalkannya. 

Ia menyadari bahwa adalah rencana kudus Tuhan sendiri yang menghendaki dia untuk tetap tinggal dan melanjutkan karya-karya pastoralnya yang amat diharapkan oleh banyak orang, terutama mereka yang merasa kehilangan pegangan dan rindu untuk bersatu kembali dengan Tuhan.

Sepanjang tahun di antara tahun  1825 dan 1830, banyak peziarah datang ke Ars. Banyak sekali umat  yang datang ingin bertemu dan berkonsultasi serta mengakukan dosa dosa mereka kepada Pastor Jean Vianney.  Begitu banyaknya jumlah orang yang datang sehingga akomodasi perjalanan yang meningkat pesat memerlukan pengaturan khusus di antara Ars dan desa-desa lain di sekitarnya.

Para peziarah berdatangan dari setiap propinsi di Perancis, sebagian datang pula dari Belgia dan Inggris, sebagian lagi dari Amerika. Ketenaran Pastor Vianney menyebar dari mulut ke mulut, terutama dari mereka yang telah mendapat pengalaman pribadi di bawah bimbingan Pastor Vianney.

Dengan perasaan kagum yang makin meningkat, peziarah yang baru datang menyaksikan bagaimana pastor yang rendah hati itu memenangkan jiwa-jiwa. Para pria dan wanita berdoa dengan khusuk berlangsung terus dari jam ke jam, sementara ratusan orang mengantri untuk pengakuan dosa-dosa mereka. 

Pastor Jean Vianney biasa mendengarkan pengakuan selama enam belas hingga tujuh belas jam setiap hari, dan ini berlangsung dalam kurun waktu tiga puluh tahun.

Dalam nasehat-nasehatnya Pastor Vianney mengajarkan bahwa cinta manusia kepada Tuhan seharusnya merupakan suatu hal yang alamiah sebagaimana seekor burung dan kicauannya. Ia juga selalu mengingatkan akan sukacita besar yang dialami setiap manusia karena mengalami cinta kasih Allah yang penuh pengorbanan. 

Berulang-ulang ia juga mengatakan, “Berdoalah bagi pertobatan para pendosa!” Ia menyatakan bahwa intensi doa semacam itu adalah salah satu hal yang paling disenangi oleh Tuhan yang Maha Baik.

Tanpa henti, Pastor Jean sendiri berdoa dan bermati raga untuk ujud tersebut. Permohonannya yang tekun itu naik tinggi sampai ke hadirat Allah. Allah dengan gembira mengirimkan pendosa tak berhingga jumlahnya, untuk dapat diperdamaikan kembali dengan Tuhan melalui karya pastoral Pastor Vianney.

Banyak umat berlutut di kakinya dengan hati telah siap, karena telah mendengar dari umat lain betapa manis dan mudahnya untuk mengakukan dosa kepada pastor yang kudus itu dan menerima bimbingannya, untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan dengan seluruh hati mereka.

Pastor Vianney mendapat karunia dari Tuhan sebuah kemampuan untuk mengetahui dengan jelas apa yang dirasakan atau dipikirkan oleh seorang pendosa. Hampir setiap hari, orang akan melihatnya tiba-tiba keluar dari sakristi untuk kemudian langsung menghampiri seseorang yang baru saja masuk ke dalam gereja. 

Dengan wajah ramah namun serius, Pastor Vianney menuntun orang itu masuk ke ruang pengakuan. Banyak orang kemudian mengetahui, bahwa tanpa banyak membuang waktu, Pastor Jean akan segera menyebutkan dosa-dosa dan kesalahan orang itu di depannya, sebelum  yang bersangkutan sempat mengatakannya.

Dengan kemampuan dan cara seperti itu, Pastor Vianney menyingkirkan semua halangan yang mungkin menghambat seseorang untuk dapat mengalami rekonsiliasi penuh dengan Tuhan.

Pastor Vianney juga mampu melihat ke depan manakala seseorang akan kembali berdosa di masa depan dan membuatnya kembali ke Ars, yang dibantunya untuk sembuh kembali. Kemampuan yang sama juga dimilikinya untuk melihat meningkatnya kekudusan jiwa seseorang di bawah suatu penderitaan fisik dan kehendak Tuhan bahwa kesembuhan tidak akan terjadi pada orang itu. 

Juga ia dapat melihat suatu salib yang menunggu seorang peziarah sekembalinya dari Ars, atau melihat dengan mata batin, bahwa suatu kesembuhan tengah terjadi di tempat yang jauh.

Sinar mata Pastor Vianney yang jernih memantulkan kesalehan yang tulus yang dari jiwanya. Ke manapun ia pergi, orang-orang akan mengerumuninya, menarik jubahnya, dan menanyakan berbagai hal kepadanya, termasuk hal-hal yang sangat sederhana, yang tetap ditanggapi Pastor Vianney dengan penuh respek.

Kebaikannya yang tidak pernah berubah membuatnya dijuluki “Pastor yang baik” sepanjang karirnya sebagai imam. Ia juga sangat menjaga dan menghormati rekan-rekan sesama imam, berusaha agar pekerjaan-pekerjaan yang sulit atau yang tidak menyenangkan tidak sampai ke tangan mereka. 

Untuk menyatakan kasihnya, ia sering membagikan barang-barang pribadinya kepada mereka termasuk salib, medali, dan relikwi, walaupun semua benda itu sebenarnya merupakan benda-benda kesayangannya.

Selama tahun-tahun terakhir menjelang akhir hidupnya, Pastor Vianney praktis tidak memiliki apa-apa lagi.  Ia telah menjual segala perabotan, buku-buku, dan berbagai benda miliknya untuk diberikan kepada orang miskin.

Ketika superiornya mulai melarang dia untuk bermati raga terlalu keras demi kesehatannya, ia berusaha menemukan cara lain untuk melakukan mati raga lewat makanannya sehari-hari. 

Pastor Jean juga menderita suatu penyakit yang membuatnya sering harus mempersingkat homilinya di altar, bahkan tak jarang rasa sakit itu membuatnya pingsan. Jika ditanya mengenai itu, ia hanya menjawab, “Ya, saya hanya sakit sedikit saja”.

Padahal dengan tubuh yang sudah begitu lemah karena mati raga, ditambah rasa sakitnya, dan terkurung di dalam sempitnya ruang pengakuan dosa selama enam belas atau tujuh belas jam sehari, tentu penderitaan tubuhnya sama sekali tidak ringan. 

Waktu untuk beristirahat di malam hari seringkali hanya tersisa satu jam saja, dan waktu yang sangat sedikit itu pun sering tak bisa dinikmatinya dengan baik, karena batuk yang hebat mengguncang tubuhnya tak henti.

Dalam semalam ia bisa terbangun empat atau lima kali, berharap bisa meringankan penderitaannya dengan berjalan-jalan ringan. Ketika sudah menjadi sangat lelah akhirnya ia tertidur tetapi terkadang karena sudah waktunya matahari terbit, segera ia bangun lagi untuk bekerja kembali di hari yang baru. 

Waktu luangnya ia habiskan untuk berdoa. Dalam mengunjungi orang sakit, pikirannya selalu tertuju kepada Tuhan. Namun doa-doanya selalu sangat sederhana. Ia memilih untuk senantiasa sederhana dalam segala tindakannya.

Cintanya kepada Tuhan begitu dalam, sehingga tak jarang hatinya terasa tercabik dan air matanya mengalir deras saat mendengarkan berbagai perbuatan dosa berat yang dilakukan orang-orang yang mengaku dosa kepadanya. 

Ia merasakan betapa sakitnya luka-luka dan hinaan yang diterima Yesus dan betapa cinta-Nya ditolak melalui dosa-dosa yang diperbuat oleh umat-Nya.

Betapapun besar dan mengagumkan hasil pekerjaan pelayanannya, Pastor Jean selalu menganggap dirinya tidak mampu untuk menjalankan tugas-tugas imamatnya sebagaimana seharusnya. 

Tanpa rasa bangga ia menyebut dirinya “jiwa yang miskin”, dan tubuh fisiknya, “mayat yang miskin”, dan “kesengsaraan yang miskin”, sambil berdoa semoga Tuhan masih berkenan memakai segala kemiskinannya itu.

Saya menyadari kerendahan hatinya inilah yang membuat Pastor Jean Vianney menjadi seorang kudus. Itulah kunci kekudusannya, karena tanpa kerendahan hati itu, ia tak akan bertahan terhadap penyembahan dan kekaguman ribuan orang yang telah menyaksikan kekudusan hidupnya.

 Di musim panas tahun 1859, Pastor Vianney semakin merasa lemah dan tidak mampu lagi bertahan. Pada Jumat 29 Juli 1859, setelah menghabiskan enam belas hingga tujuh belas jam di ruang pengakuan seperti biasa, ia kembali ke pastoran dalam keadaan sangat lelah. Ia terduduk sambil berkata, “Aku tak dapat berbuat lebih jauh lagi”. Ia segera dibaringkan di tempat tidur.

Akhir Hayat

Keesokan paginya sakitnya menjadi begitu parah sehingga dikhawatirkan ia akan segera meninggal. Semua umat di Ars dan para pengunjung merasakan kesedihan yang dalam. Selama tiga hari, gereja penuh dengan umat, yang berdoa dengan sungguh memohon Tuhan untuk tidak mengambil imam kesayangan mereka.

Jumat petang ia menerima Sakramen Perminyakan. Ia menangis haru ketika Viaticum Kudus (Sakramen Ekaristi terakhir sebagai bekal perjalanan pulang ke rumah Bapa) diberikan kepadanya. Untuk terakhir kalinya ia memberkati semua yang hadir beserta seluruh umat parokinya.

Pada hari Kamis 4 Agustus 1859, pukul dua dini hari, saat rekan-rekannya sedang mengucapkan doa bagi orang yang menghadapi ajal dan tengah berkata: “Kiranya para Malaikat kudus Allah datang menjumpainya dan memimpinnya ke dalam kota kudus Yerusalem Surgawi”, jiwa Pastor Jean meninggalkan tubuhnya, menghadap Sang Penciptanya, yang telah ia layani dengan begitu setia sepanjang hidupnya. diistirahatkan di bawah altar paroki Ars

Pastor Vianney dibeatifikasi oleh Paus Pius X pada 8 Januari 1905. Dikanonisasi pada tanggal 31 Mei 1925 oleh Paus Pius XI. Dan diangkat menjadi ‘Pelindung Surgawi bagi para ‘Pastor Paroki’. Pestanya dirayakan setiap tanggal 4 Agustus. Jasadnya yang sampai sekarang masih utuh disemayamkan di Gereja Basilika di Ars.

Santo Yohanes Maria Vianney memberikan kita pelajaran bahwa rahmat yang besar datang kepada kita dibarengi dengan berbagai pencobaan yang besar juga.

Selama sepuluh tahun awal pelayanannya, ia mengalami banyak tuduhan, kecurigaan, ketidakpercayaan, dan fitnah. Ia menjadi bahan olok-olokan dan kritikan orang-orang yang tidak suka kepadanya.  Ia diancam dengan kekerasan. 

Dengan kesabaran Pastor Vianney menanggung tahun-tahun yang penuh kepahitan. Kesungguhan dan kesalehannya tidak luntur sedikitpun. Semua pergumulan batinnya itu ia jadikan kekuatan untuk menjalankan tugas-tugas pastoralnya.

Kesungguhan dan kerendahan hatinya membuat Tuhanpun menyatakan kemuliaan-Nya yang besar dan penuh kuasa dalam diri seorang pastor sederhana, lambat dan bodoh. 

Tapi kekuatan Tuhan menyempurnakan semua kelemahan itu menjadi mujizat nyata dalam hidupnya yang membawa pemulihan dan penyembuhan bagi semua umat yang datang kepadanya maupun bagi kita semua di masa sekarang.

Panjang ya kisahnya, tapi saya senang sekali membacanya. Semoga kisah istimewah ini juga membawa sukacita dan hikmat buat semua yang sempat membacanya. Terima kasih ya…. Tuhan memberkati… Salve….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paus Yohanes Paulus II

Santo Paus Yohanes Paulus II Salve sahabat Kristus, kalau kita seusia, sahabat pasti mengenal dengan baik siapa Paus Yohanes Paulus II yang ...